Indonesia dan Korea Selatan Tidak Menemui Titik Temu dalam CEPA

INDO KOREA

Indonesia dan Korea Selatan gagal mencapai kesepakatan setelah hampir dua tahun bernegosiasi tentang Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) atau perjanjian kemitraan ekonomi komprehensif.

Menteri Perdagangan Indonesia, Muhammad Lutfi mengatakan bahwa adanya perselisihan atas jaminan akses investasi langsung dari Korea Selatan dan Indonesia ke pasar agrikultur di Asia Timur merupakan penyebab gagalnya negosiasi ini.

“Kita tidak akan bisa membuat kesepakatan dalam waktu dekat ini. Kami telah memutuskan bahwa sekarang bukan waktu yang tepat untuk menyepakati CEPA,” katanya pada hari Jumat, 13 Juni 2014.

Hal ini terutama karena pemilihan presiden yang akan dilaksanakan pada 9 Juli mendatang. Pemerintah terpilih baru akan menduduki kepemerintahan pada bulan Oktober. Maka, akan butuh waktu lebih lama untuk melakukan negosiasi lebih lanjut.

Negosiasi ini dimulai pada tahun 2012. Tujuannya adalah mencapai kesepakatan yang mencakup liberalisasi perdagangan yang diusung dalam Free Trade Agreement (FTA) atau perjanjian perdagangan bebas. Perjanjian ini ditandatangani oleh Indonesia bersama anggota ASEAN lainnya dan negara-negara tonggak ekonomi Asia Timur. Perjanjian ini selanjutnya akan memotong 1.051 pos tarif dalam perdagangan antara Indonesia dan Korea Selatan. Pengurangan duty atau bea yang diminta Indonesia dari Korea Selatan hanya mencakup US$ 105 juta dalam bidang ekspor. Sementara permintaan pengurangan yang sama yang diajukan Korea Selatan terhadap Indonesia mencakup US$ 530 juta.

Lebih dari 90 persen sektor yang ada di dalam daftar yang akan dibebaskan beanya adalah produk industri, sisanya adalah produk pertanian, perikanan, dan farmasi. Hingga mencapai pembicaraan ketujuh kalinya, tidak juga dicapai kesepakatan dalam negosiasi ini.

Indonesia memang telah memprediksikan bahwa kesepakatan ini akan gagal. Terutama karena komoditas ekspor Indonesia ke negara-negara Asia Timur kebanyakan adalah sumber daya alam, bukan barang-barang manufaktur.

Indonesia menuntut jaminan investasi yang besar dari Korea Selatan. Namun, pemerintah Korea Selatan berkata tidak bisa memberikan jaminan. Hal ini disebabkan karena besarnya investasi berada di tangan sektor privat (perusahaan swasta).

Investasi Korea Selatan di Indonesia melonjak drastis dalam beberapa tahun terakhir. Rekor tertinggi mencapai US$ 2,21 miliar tahun lalu. Tapi, Indonesia membutuhkan investasi yang lebih besar untuk memperkuat bidang industri manufaktur, khususnya dalam bidang elektronik, petrokimia, komponen otomotif, dan mesin.

Perdagangan antara Indonesia dan Korea Selatan telah meningkat sebesar 15,57%  menjadi US$ 23 miliar tahun lalu dibandingkan tahun 2009. Ekspor Indonesia yang terutama terdiri dari gas alam cair, batubara, minyak mentah, bijih tembaga, dan karet alam naik hanya 8,94%. Sementara itu, impor Indonesia yang terdiri dari diesel, bensin, tekstil, baja, dan karet sintetis meningkat sebesar 24,96%.

Direktur Jenderal Kerjasama Perdagangan Internasional Kementrian Perdagangan Indonesia, Imam Pambagyo, mengatakan bahwa meskipun membutuhkan terobosan untuk kemajuan dalam perundingan, Indonesia dan Korea Selatan tetap harus mempertahankan win-win solution.

“Jika kita tidak bisa menang dalam perdagangan, kita perlu mencari investasi besar. Untuk mencapai win-win solution, kita membutuhkan komitmen investasi dari Korea Selatan,” katanya.