SALAMKOREA.COM – Salah satu topik yang seringkali diangkat di drama Korea adalah mengenai stalker. Dan kenyataannya, kasus penguntitan di drama Korea memang benar terjadi di dunia nyata, Jeolchin. Dilansir dari Chosun Ilbo, diketahui ada beberapa kasus mengenai penguntit di Korea yang berujung pada aksi kriminal dan menyebabkan korbannya meninggal dunia.
Dari laporan Chosun Ilbo diketahui, contoh tentang kasus penguntitan yang dialami oleh Park, wanita berusia 20-an. Ia menelepon polisi untuk melaporkan penguntitnya tapi langsung menutup telepon karena takut penguntitnya akan membalas dendam dan mengancam agar mereka mati bersama.
Disebutkan, Park sudah diganggu oleh mantan kekasihnya selama sekitar setahun. Setelah putus akhir tahun lalu, mantannya terus menghubungi lewat SMS, KakaoTalk, dan telepon. Bahkan setelah dia memblokirnya, mantannya masih menemukan cara untuk menghubunginya lewat telepon orang lain atau nomor baru. Masalah semakin parah ketika mantannya datang ke apartemennya tengah malam, mengetuk pintu, dan memaksa ingin bicara. Akibatnya, Park terpaksa pindah dari apartemennya dan kembali tinggal dengan orang tuanya.
Meski begitu, Park belum melaporkan mantannya ke polisi karena takut akan balas dendam. “Kadang saya pikir mati mungkin lebih mudah,” katanya. “Saya berharap ada undang-undang yang memastikan dia bisa benar-benar terisolasi.”
Meskipun Korea Selatan telah memperkuat undang-undang seperti Undang-Undang Pidana Kasus Penguntitan dan Undang-Undang Pencegahan Penguntitan serta Perlindungan Korban, beberapa korban masih enggan melapor karena kurangnya langkah hukum untuk melindungi mereka dari kekerasan pasangan intim. Lebih dari sepuluh rancangan undang-undang terkait telah diusulkan sejak Majelis Nasional ke-19, tapi belum ada yang disetujui.
Pada tahun 2020 ada 4.513 kasus yang dilaporkan, dan setelah Undang-Undang Pidana Kasus Penguntitan diterapkan pada tahun 2021, angkanya melonjak jadi 14.509. Angkanya terus naik menjadi 29.565 di tahun 2022 dan 31.824 di tahun 2023. Namun, jumlah sebenarnya dari korban penguntitan diyakini jauh lebih tinggi.
Seo Hye-jin, pengacara di The Lighthouse Law Office, mengatakan, “Biasanya korban mencari nasihat hukum sebelum pergi ke polisi karena penguntit mereka terlalu mengenal rutinitas dan tempat tinggal mereka, yang membuat ketakutan akan balas dendam semakin besar.”
Balas dendam setelah melaporkan penguntit bukanlah hal yang langka. Bulan lalu, seorang wanita berusia 20-an meninggal setelah mengalami penguntitan dan kekerasan berulang dari mantannya, yang sudah dilaporkan ke polisi 12 kali dalam setahun terakhir. Kasus lainnya pada Juli lalu, seorang pria di usia 30-an membunuh mantannya setelah mengikutinya selama sebulan, meski sudah ada perintah penahanan dari polisi.
Profesor Han Min-kyung dari Universitas Kepolisian Nasional Korea menekankan pentingnya melindungi korban segera setelah mereka melapor ke polisi, karena kebanyakan pelanggaran serius terjadi dalam sebulan setelah penguntitan awal.
Meskipun undang-undang untuk mencegah kekerasan pasangan intim terus diusulkan, hingga kini belum ada yang disetujui di Majelis Nasional. Undang-undang yang diusulkan meliputi langkah-langkah untuk mengusir pelaku dari tempat tinggal korban, penahanan sementara di sel polisi atau penjara, dan melarang kontak serta mendekati korban.
Para ahli berpendapat bahwa definisi hukum yang jelas tentang kekerasan pasangan intim diperlukan untuk undang-undang yang efektif. Seo menambahkan, “Istilah ‘kekerasan pasangan intim’ tidak ada dalam undang-undang yang ada saat ini, dan perlu diskusi yang matang untuk mendefinisikannya secara hukum. Menentukan bagaimana melindungi korban dan kapan otoritas publik harus campur tangan adalah isu selanjutnya.”